Kafemuslimah.com Salah seorang teman mengatakan bahwa karya tulis yang “berhasil” adalah karya tulis yang dalam proses penulisannya menyertakan hati. Yang dimaksud dengan “berhasil” di sini ialah bahwa karya tulis tersebut mampu memberikan kesan berarti bagi pembacanya, mampu membuat pembacanya berfikir; memaknai hikmah yang tersurat maupun yang tersirat di dalamnya. Hal ini baiknya kita sepakati sebagai karya “Sastra yang Pinter”. Ternyata, beberapa penulis yang sempat saya jumpai (kebanyakan sih, ketemu tulisannya, bukan orangnya :D ) juga mengatakan hal yang sama, “Menulislah dengan hatimu!”
Ketika membaca judul buku ini, Menulis dengan Emosi, yang terbayang dalam benak saya adalah bagaimana mengontrol emosi kita ketika menulis. William Kennedy mengatakan bahwa menulis adalah seni yang begitu rumit, sungguh rumit memahami apa yang anda coba keluarkan dari imajinasi anda sendiri, dari kehidupan anda sendiri.
Menulis artinya kita mempunyai sesuatu yang berharga untuk disampaikan. Sesuatu itu harus kita antar dengan susunan kata-kata yang sekiranya pas agar pembaca dapat menangkap apa yang hendak kita sampaikan. Terkadang kita merasa bahwa apa yang hendak kita sampaikan itu benar-benar belum diketahui oleh orang lain atau sesuatu itu telah diketahui oleh orang lain, namun keberadaannya diremehkan / diabaikan. Sehingga kita terpacu untuk menyampaikannya sesegera mungkin (dengan maksud menimbulkan suatu perubahan ke arah yang lebih baik). Akibatnya, kita sering terburu-buru dalam menyelesaikan tulisan kita. Bukan salah Bunda mengandung jika tulisan kita akhirnya berantakan (apa hubungannya, coba?). Hikmah yang hendak kita sampaikan pun terbang entah kemana.
Ternyata buku ini hadir untuk mengingatkan & membimbing kita bagaimana mengontrol emosi kita dalam menyelesaikan sebuah tulisan / karya, bukan memanjakan emosi / perasaan kita.
Dalam buku ini pembaca takkan menemukan teori atau praktik yang berkaitan dengan kecerdasan emosi. Buku ini hanya menunjukkan bagaimana seorang penulis dapat terlibat penuh dengan apa yang ditulisnya (saya rasa inilah yang dikatakan “Menulis dengan hati”).
Uniknya, penulis menghadirkan bahasan-bahasannya dalam bentuk surat-surat. Surat-surat itu ditujukan kepada seorang penulis yang mengirimkan cerpennya yang berjudul “Jeritan di Tengah Malam” kepada seorang penulis senior, Virginia O’Day (dalam hal ini adalah Bird sendiri), untuk dikritisi. Kita dianjurkan untuk menempatkan diri sebagai penulis junior, membayangkan bagaimana jika kita yang menulis “Jeritan di Tengah Malam” dan melihat cerita itu menempuh perubahannya. Kita juga bisa melakukan perubahan-perubahan yang kita sukai terhadap cerpen-cerpen kita sendiri.
Pada awalnya, setelah membaca surat demi surat, saya merasa dipaksa untuk melakukan perubahan terhadap cerpen saya (baik ketika saya menempatkan diri saya sebagai si penulis junior atau pun sebagai diri saya sendiri). Saya tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Virginia O’Day tentang cerpen saya. Kelihatannya cerpen saya begitu buruk. Padahal saya mengerjakannya dengan sepenuh hati dan mencurahkan segenap pikiran saya. Saya tidak ingin mengubah cerpen saya karena saya merasa cerpen tersebut sudah bagus (dalam pandangan saya). Namun ketika Bird (atau O’day) mengemukakan alasan-alasannya dan tidak lupa menyertakan contoh-contoh dari penulis-penulis lainnya, saya tergelitik untuk melakukan perubahan. Setelah melakukan perubahan, subhanallah, saya merasa lebih baik. Dan saya merasa yakin bahwa pembaca akan lebih mudah dalam mencerna cerpen saya. Allahu ‘alam bishshawwab.
Seperti karya terjemahan lainnya, buku ini mempunyai kekurangan dalam hal saduran kalimat-kalimatnya. Dalam versi aslinya (Dear Writer : The Classic Guide to Writing Fiction), Bird (atau O’Day) menyapa pembacanya dengan kata-kata “Dear Writer,”, sedangkan dalam versi Indonesia, kita menemukannya dalam sapaan “Salam”. Hal ini mengaruhi kondisi psikologis kita ketika membaca surat-suratnya. Walaupun sapaan “Salam” sudah lazim kita temukan dalam surat-surat, namun terasa ada jarak antara O’Day sebagai si penulis surat yang mengirimkan suratnya kepada pembaca, yaitu kita. Dengan kata-kata “Dear Writer”, kita bisa merasakan kedekatan kita dengan O’Day. Seperti lazimnya kita menulis surat kepada teman, sahabat, saudara, ataupun orang yang kita cintai.
Bagaimana pun juga, buku ini sangat layak untuk dibaca dan sangat mengasyikkan. Ringkas dan mudah dimengerti. Bird menggelar surat-suratnya tak lebih dari 4-5 halaman. Selain menyertakan contoh-contoh tulisan dari penulis-penulis lainnya, Bird juga menyampaikan pengalamannya berinteraksi dengan siswa-siswanya (Bird adalah dosen mata kuliah Creative Writing di salah satu universitas di Australia).
Dalam pendahuluannya Bird menganjurkan beberapa saran. Bahwa penulis juga harus menempatkan diri sebagai pembaca, harus tahu cara membaca, melihat bagaimana karya penulis lain diterima oleh pembaca. Bahwa untuk menjadi penulis kita harus menginvestasikan uang, waktu, emosi, hati juga jiwa kita. Kita juga dianjurkan untuk mencari pengajar (sebagai guru) yang tulisannya kita hormati. Sedikitnya ada dua bagian dalam diri pengajar menulis, yaitu tulisannya dan pengajarannya. Bisakah dia menulis? Bisakah dia mengajar? Pertanyaan itulah yang harus kita ajukan sebelum memutuskan untuk belajar menulis pada seseorang atau pada lembaga kursus menulis.
Seringkali kita berharap diberi rumus ajaib dalam menulis yang sekiranya dimiliki oleh penulis yang telah sukses. Bird menekankan bahwa rumus ajaib itu tidak ada. Setiap penulis harus bisa mengenali saat-saat datangnya inspirasi / hikmah dan bereaksi terhadapnya. Bahwa sumber bahan fiksi yang utama, pertama dan orisinal adalah dalam kehidupan, dalam pengalaman, dalam ingatan dan dalam diri si penulis itu sendiri.
Bukan sertifikat, trophy atau kemuliaan yang hendak kita genggam. Sekedar harapan agar dunia mengetahui yang menggelegak dalam hati. Oleh karena itu, lapangkan hati dan jiwa, sertakan akal dan iman, sampaikan pada dunia scenario-skenario kecil yang indah dari skenario besar yang teramat indah. Insya Allah bi barakatillah!
-----selesai-----
Penulis: Asdhar
Judul buku : Menulis dengan Emosi,
Panduan Empatik Mengarang Fiksi
Penulis : Carmel Bird
Penerbit : Kaifa-Mizan
Cetakan I : Juli 2001
Tebal buku : 255 halaman
0 komentar:
Posting Komentar